Poncosilo lan Syarengat Limo

8 November 2014
Dua hari yang lalu, saya menemani anak saya yang tengah mempersiapkan formatif (ulangan) harian. Kebetulan temanya tentang Pancasila. Saya jadi teringat ketika di akhir Bulan Oktober yang lalu, saya berkesempatan bergabung di #PeaceLeadersCamp yang diselenggarakan oleh @AMANIndonesia dan @Search4CommonGround. Salah satu sesinya adalah kunjungan ke beberapa komunitas untuk belajar tentang bagaimana menjaga keberlanjutan dan kemandirian sebuah organisasi berbasis komunitas. Dan saya, juga beberapa teman lainnya berkesempatan untuk mengunjungi #Komunitas5Gunung. Lalu apa kaitannya dengan #Pancasila?
Bapak Taufik, salah satu sesepuh #Komunitas5Gunung menjawab pertanyaan “mengapa 5 gunung?” Dengan gaya guyonannya, “ya… karena enak aja kalau lima. Poncosilo, Pandowo-Limo, syarengat limo, rukun Islam ono limo,…” 
Secara pribadi, saya kemudian tertarik dengan pasangan kata Poncosilo dan Syarengat Limo. Dari sinilah, kemudian saya bertambah yakin kalau Pancasila itu memang sesuai dengan syariat Islam, meskipun kalimat “dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” telah dihapus dari Piagam Jakarta, yang kemudian menjelma menjadi Pancasila. Mengapa sesuai dengan syariat Islam, ya… karena saya beragama Islam. 
Pancasila dilahirkan oleh para pendahulu untuk menjadi dasar bagi manusia Indonesia dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Begitu juga dengan syariat Islam yang dibangun dan dimaksudkan untuk menjadi dasar bagi kehidupan manusia; kehambaan dan kemanusiaannya (maqooshid asy-syariah). Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila adalah hifdhu ad-din (memelihara agama) maqooshid asy-syariah. Keduanya berbicara tentang tauhid (teologi) yang menjadi pondasi dasar dalam kehidupan manusia. Dalam bahasa lain, bisa diungkapkan dengan hubungan vertikal atau hablum minallah-nya. 
Sedangkan hubungan horisontal atau hablum minannas, Pancasila menyebutkannya dengan sila kedua; Kemanusiaan yang adil dan beradab. Maqooshid asy-syariah-nya menggunakan istilah ini dengan hifdhu an-nafs (memelihara nyawa). Selanjutnya, hifdhu an-nafs juga bisa dipandang dalam konteks manusia secara personal. Karena secara sosial, Pancasila menyebutnya dengan Persatuan Indonesia, yang merangkai hubungan inter-personal warganya demi kesatuan dan keutuhan bangsa. Dan salah satu faktor penting yang digunakan sebagai pijakan dalam hubungan inter-personal ini adalah perspektif (hifdu al aql/memelihara akal) kebangsaannya. 
Pertanyaan selanjutnya adalah; bagaimana membangun perspektif (pola pikir) kebangsaan ini? Tentu dengan bil-hikmah wal-mau’idhoh al-hasanah. Dan Pancasila mensyaratkan hal ini dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kata yang digunakan untuk mengawali konsep hikmah kebijaksanaan ini adalah kerakyatan, yang dalam konteks berbangsa dan bernegara, kerakyatan adalah salah satu faktor yang bisa melintasi ruang dan waktu. Atau dengan kata lain; keberlanjutan dari generasi satu ke generasi selanjutnya; hifdhu an-nasab (memelihara keturunan) dalam bahasa maqooshid asy-syariah-nya.
Dari keberlanjutan yang mampu melintasi dimensi ruang dan waktu inilah, maka mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya (hifdhu al-maal/memelihara harta) menjadi unsur terpenting dalam membangun Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.