BANSERBAN

24 September 2019

“Wong pualing digdoyo itu adalah orang yang bisa istiqomah menjalankan sholat 5 waktu dg berjamaah, plus rowatibnya.” Begitulah Gus Sentot mengingatkan kepada para sahabat BANSER di acara Istighotsah YAMISDA AL IHSAN Kota Depok, yang sekaligus memulai ritual penggemblengan. Dan salah satu jalan yang ditempuh agar bisa “bahagia” melakukannya adalah dengan membangun pondasi ma’rifah dan mahabbah untuk melakukan ibadah.

Pertanyaan yang sempat terbesit adalah; bagaimana kita bisa tahu “ibadah” seperti apa yang bisa membuat kita bahagia menjalaninya? Pertanyaan ini muncul dalam obrolan tengah malam bareng Ndan Reno. Karena segala sesuatu ada teori dan terapannya, maka apa yang terjadi adalah tentang bagaimana kita bisa melihat sesuatu itu dengan positive thinking. Jadi, nikmati saja hidup ini. Dan menikmati hidup itu adalah tentang keragaman jawaban atas pertanyaan; “Seberapa lama kita menghadapi? Seberapa berat kita menanggung? Seberapa kuat kita bertahan? Seberapa konsisten kita melakukan?”
Itulah konsistensi dan ke-istiqomah-an seutas tali yang melingkari bumi pada lambang Jam’iyyah NU. Dua simpul yang berada di bawah memberikan makna, bahwa pertanyaan-pertanyaan di atas akan kembali pada tanggung jawab atas diri kita masing-masing.

Belajar pada beberapa fenomena dan dinamikanya, keyakinan dan keihlasan langkahlah yang bisa menjadi pijakan agar
bisa terus bertahan menghadapi;
bisa terus menanggung segala konsekwensi;
bisa terus tegar menjalani;
bisa terus ihlas melalui. Ust. Ta’in menceritakan hal ini dengan kisah-kisah dan kehidupan ala pesantren yang membuat kami terpingkal di malam menjelang sepertiga akhirnya.

Bojong Lio, 24092019


18 Juni 2019

19 June 2019

Shame#1

Bajingan kamu ya…
Kau minum darah yg mengalir di tubuhmu
Lalu kau muntahkan, lalu kau telan lagi
Kau sayatsayat daging yang mengempal di tubuhmu
Lalu kau obati, lalu kau cincangcincang lagi
Kau lukai hati yang tak berperasa di dalam tubuhmu
Lalu kau tangisi, lalu kau sakiti lagi
Kau tampartampar wajah yang tak bermuka di kepalamu
Lalu kau seka air matamu, lalu kau dera lagi

Bangsat kamu ya…
Kau usir hati dan jiwamu
Kau buang sukma dan rasamu
Ketika patuhmu tak pernah kau berikan
Ketika sujudmu tak lagi kau lakukan

Dasar kau ya…
Seperti katakata yang tak lagi mampu menerjemahkan kesejatian cinta
Maka,
Dasar kau ya…
Seperti katakata yang tak lagi mampu mengatakan kepalsuan cinta

Kau:
Ampunilah aku

Shame#2

Maafkan anakmu, ibu
Berlaku tentang waktu yang lebih atas rindumu

Maafkan anakmu, ibu
Berkata tentang cinta yang mendua atas setiamu

Maafkan anakmu, ibu
Berpikir tentang uang yang menghargai atas luangmu

Maafkan anakmu, ibu
Berniat tentang tempat yang menghindar atas nikmatmu

Maafkan anakmu, ibu

 


DOA SANG MUSAFIR

15 July 2017

ربى اغفرلى ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنات ولا تزد الظلمين إلا تبارا
ربنا هب لنا من أزواجنا و ذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما 
Berharap perjalanan ini

menjadi sarana untuk mendapatkan status sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. 

menjadi ujian untuk berpredikat sebagai suami yang berpartner dengan istri,

menjadi pembelajaran agar bertitle sebagai orang tua yang memberi tauladan kepada anak-anak

menjadi amal yang berlandas ilmu sebagai santri yang ta’dzim kepada sang kiai

menjadi pertemuan yang saling menganyam sebagai saudara yang menjalin silaturahmi dengan sesama

menjadi doa-doa yang senantiasa teruntai sebagai hamba yang mampu bersyukur kepada Sang Tuhan

فتبسم ضاحكا من قولها وقال رب أوزعنى أن أشكر نعمتك التى أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأدخلنى برحمتك فى عبادك الصالحين

Jakarta-Jogjakarta-Jombang, 15 Juli 2017


SOWAN LEBARAN 1438 H

1 July 2017

Silaturahmi Lebaran 1438 H kali ini, bercengkerama dengan kakak dan adik sampai lewat tengah malam. Lupa dengan lelah setelah perjalanan Temanggung-Pati. Lalu siangnya, mengenalkan anak-anak tentang tradisi ziarah ke makam para Waliyullah. Setelah tiga hari yang lalu ziarah ke mBah KH Chudlori Tegalrejo, kini pilihan selanjutnya ke mBah Mutamakin, makam terdekat dari rumah kakak yang di Tayu, Pati. Rencana selanjutnya ke makam Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Tapi, tawaran adik untuk sowan bareng ke Gus Mus, ternyata membuat arah perjalanan pindah haluan. Alhamdulillah, bisa sowan walau sejenak dan ‘ngepasi’ haul satu tahun wafatnya Ibu Nyai Fatma. Selain berkat, dapat doa keberkahan pula dari beliau. Ini juga ingin mengenalkan kepada anak-anak tentang tradisi dunia pesantren dan kyainya. Dua tahun lagi, si anak mbarep ingin menjadi seorang santri.

Saat sowan ke Gus Mus, ada beberapa anggota Banser yang juga ikutan sowan.

“Yah, emang mereka bener-bener tentara asli ya?” tanya anakku yang kedua.

“Iya. Namanya Banser,” jawabku

“Emang Banser itu apaan?”

“Banser itu Barisan Ansor Serbaguna. Tentaranya NU. Yang menjaga Indonesia.”

“Emang yang di sini, NU semua ya?”

“Iya.”

“Kalau ayah?”

“Iya lah. Eyang juga. Mbah kakung juga. Pakdhe, budhe, om, tante. Semuanya NU.”

“Kenapa?”

Senyap sejenak.

“Karena ayah orang Indonesia. Jadi ayah, eyang, mbah jadi makmumnya kyai-kyai.”

“Asa juga NU ah.”

“Siiippp…” sembari kuberikan dua jempol.

“Sekarang, kita foto bareng sama mbahnya tante, yuk.”

Kami pun masuk ke ruang dalam untuk berpose, sekaligus berpamitan dan minta doa pangestunya.

“Meniko ingkang mbajeng tabarukan asmo dateng panjenengan, Gus.”

Lalu… klik, klik, klik. Dan perjalanan pun berlanjut ke Kota Wali, Kudus dan Demak.

Temanggung, Demak, Kudus, Pati dan Rembang, Lebaran 1438 H


TAKBIRAN 1438 H

25 June 2017
“Kita orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang (kebetulan) tinggal di Indonesia”. Begitulah pesan GusDur. Penjelasan lebih jauh tentang ini, salah satu sahabat terdekat beliau, GusMus sudah sering dan berulangkali memberikan penjelasannya dengan sangat gamblang.

Seiring ingatan saya pada pesan beliau, saya mendapati unggahan di sebuah media sosial yang memberikan ulasan tentang bagaimana “seharusnya” mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri dengan mengemukakan dalil-dalil ketidakabsahannya. Lagi-lagi, saya hanya bisa mendialogkannya dalam sebuah monolog. Salah satunya begini; kalau semua-muanya hanya didasarkan pada dalil-dalil naqli dengan mengesampingkan dalil-dalil aqli dan kontekstualitasnya, kok jadinya muncul pertanyaan (yang sebetulnya tidak membutuhkan jawaban); mau beragama saja kok sulitnya minta ampun seh? Lha bagaimana tidak, kalau mau beribadah (ghoiru mahdloh) saja harus sama persis dengan teks-teks keagamaan tanpa melihat konteks. Kalau tidak ditemukan, muncullah penghakiman bid’ah, haram, dan sesat. Bahkan kemudian, (yang saya tak habis pikir) berani menyerobot hak Tuhan tentang diterima atau ditolaknya nilai sebuah ibadah. Ah, barangkali saya kurang piknik juga kalau terus berpikir seperti ini.

Monolog saya makin berkembang dengan makin banyaknya dialog yang muncul dengan segala ‘ping-pong’nya.  Seiring itu pula, saya makin menikmati sajian dari orang-orang kampung di malam perayaan malam takbiran. Ada parade takbir yang diikuti oleh sekitar 9 kelompok di panggung utama. Masing-masing dari kelompok pun mampu mengharmonisasikannya dengan sholawat dan syiiran jawa, lagu Lir-Ilir, Apuse, Yangko Rambe-Rambe dan sebagainya. Tata busana dengan pernak pernik hasil kreatifitasnya pun -saya anggap- juga mampu melukiskan nilai-nilai lokalitas dan kontekstualitas atas krisisnya nasib budaya beragama di negeri ini. Sementara di depan panggung, suguhan gerak dan tari dengan koreografi yang menyiratkan atas kekayaan dan keragaman ala tradisi-budaya nusantara juga disajikan dengan penuh keramahan.

Saya sempat berandai-andai juga saat itu. Kalau orang-orang bisa belajar dari suasana seperti di kampung kecil saya ini, mungkin tidak akan terjadi politisasi dan peng-atasnama-an agama hanya untuk “sekadar” berebut panggung kekuasaan. Mungkin tidak ada istilah diskriminasi atas kelompok-kelompok (yang disebut dengan) minoritas. Mungkin juga tidak ada orang-orang yang terusir dari kampung halamannya sendiri hanya karena  beda keyakinan. Tidak akan ada ungkapan caci maki dan fitnah yang melahirkan benih kebencian kepada yang lain.

Melihat itu semua, saya kemudian mencoba untuk menerka-nerka saja, bahwa tema malam takbiran kali ini adalah  tolak bala. Tema yang tentu menjadi perhatian bagi orang-orang di kampung kecil saya ini. Tema yang menjadi gambaran, sekaligus doa dan harapan agar yang saya andai-andaikan di atas bisa terwujud. Karena di sini, di kampung kecil ini, semua keragaman dapat diterima, bahkan ada saling puji dan penghargaan di antara keragaman tersebut. Masing-masing mampu menikmati dan memberikan apresiasi di antara perbedaan yang ditunjukkan dengan rasa percaya diri. Para aktor dan apresiator mampu menempatkan diri sesuai dengan posisi dan kapasitas masing-masing. Nah, kalau sudah begini, saya pun akan terus berusaha berada di dalam kerumunan untuk tetap menikmati dan mensyukuri hajat yang tengah berlangsung. Saya ingin berusaha untuk tahu diri dengan kondisi di sekitar saya. Jadi, saya putuskan untuk menyelesaikan dan menutup dialog-dialog dalam monolog saya dengan doa; semoga Nusantara tempat saya tinggal ini akan tetap
berdiri tegak dengan pondasi Pancasila,
membingkai keragaman dalam Bhinneka Tunggal Ika,
hidup damai dan setia dalam NKRI,
berlaku dengan kepatuhan atas UUD 1945.

Malam ini, ketika malam Idul Fitri 1438 H di kampung kecil ini, saya menyaksikan bagaimana pesan GusDur tersebut menjelma menjadi sebuah malam perayaan bagi orang-orang yang tinggal di sebuah kampung kecil yang menjadi bagian kecil dari Bumi Nusantara ini. Saya yakin, hal ini juga tengah berlangsung di banyak kampung di bumi Nusantara ini, pun dalam bentuk yang berbeda dan beragam. Dan sekali lagi saya yakin, bahwa malam di penghujung Ramadhan Mubarak ini telah kembali memberikan kesaksian, bahwa; kita (memang) orang Indonesia yang beragama Islam.

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…
Laa Ilaaha Illallaahu Allahu Akbar…
Allahu Akbar wa Lillahilhamd…

Sebuah kampung kecil di Temanggung,
29 Ramadhan – 1 Syawal 1438 H